Beberapa minggu yang lalu, seorang teman meminta saya membantunya
mereview sebuah jurnal tentang culture shock. Saya sendiri tidak
familiar dengan istilah ini. Walau demikian, saya anggap ini adalah
suatu tantangan baru buat saya. Belajar sekaligus membantu teman.
Berikut ini adalah hasil pembelajaran saya dari beberapa literatur.
Pertama-tama, kita mulai dari definisi dulu. Apa sih yang dimaksud dengan culture shock?
Ketika kita mengatakan bahwa kita 'shock' akan suatu hal, maksudnya kita
tidak menyangka bahwa hal tersebut akan datang dan kita tidak siap
dengan sesuatu yang baru itu. Begitu pula dengan 'shock' budaya.
Bayangkan kita datang di suatu tempat yang sama sekali belum pernah kita
kunjungi di benua lain. Mereka punya jenis makanan, cara
bersosialisasi, dan cara berpakaian yang berbeda dengan kita. Lalu Anda
harus tinggal di tempat itu selama beberapa waktu. Beberapa orang
tentunya akan mengalami shock pada awalnya. Inilah yang dimaksud dengan
culture shock.
Istilah Culture Shock pertama kali diperkenalkan oleh seorang Antropolog
(Ahli Antropologi) bernama Kalervo Oberg pada akhir tahun 1950-an.
Oberg sendiri mendefinisikannya sebagai "penyakit" yang diderita oleh
individu yang tinggal di sebuah lingkungan budaya baru. menurut Oberg,
culture Shock merupakan akibat dari hilangnya tanda dan simbol budaya
yang dikenal, membuat individu mengalami kecemasan, frustrasi, dan
perasaaan tidak berdaya (Chapdelaine & Alexitch, 2004). Searle &
Ward (Chapdelaine & Alexitch, 2004) menyebutkan bahwa Culture shock
merujuk pada banyaknya tuntutan penyesuaian yang dialami individu pada
level kognitif, perilaku, emosional, sosial, dan fisiologis ketika
mereka ditempatkan di budaya yang berbeda.
Hubungan lintas budaya tersebut terbagi atas dua kategori besar, yaitu
yang terjadi di antara penduduk negara atau masyarakat dengan beragam
budaya, dan yang terjadi ketika seseorang dari suatu masyarakat pergi ke
negara lain dengan tujuan tertentu, contohnya untuk bekerja, bermain,
belajar, mengeksploitasi, atau memberikan bantuan (Bochner dalam
Chapdelaine & Alexitch, 2004).
Siapa saja yang mengalami culture shock?
Ward, Bochner, dan Furnham (2005) mengemukakan kelompok-kelompok yang terlibat dalam hubungan lintas budaya, di antaranya:
1. Wisatawan. World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan turis
sebagai pengunjung yang lama tinggalnya lebih dari 24 jam di sebuah
lokasi yang jauh dari rumah dan yang tujuan utamanya untuk bepergian
bukanlah tujuan finansial.Turis internasional bersifat jangka pendek,
datang untuk berlibur, dan merupakan kelompok pendatang lintas budaya
terbesar.Motif para turis untuk datang mencakup pemandangan, alam,
olahraga dan seks. Meskipun demikian hanya sedikit dari mereka yang
ingin mempelajari budaya. Karena interaksi antar budaya dalam budaya
yang berbeda seringkali sulit dilakukan dan karena pembelajaran budaya
bukanlah selalu merupakan minat utama, banyak turis memilih bepergian ke
tempat di mana jumlah kontak dengan penduduk setempat terbatas. Mereka
memilih untuk tinggal dengan rekan sebangsa di hotel-hotel dan tempat
pesiar dengan staf yang bisa berbicara dalam bahasa mereka dan
mengantisipasi kebutuhan mereka dengan akurat. Penelitian menunjukkan
bahwa turis eringkali memiliki harapan yang tidak realistis dan banyak
yang bereaksi buruk ketika dihadapkan dengan pengalaman 'culture shock'
pada masa-masa awal liburan.
2. Sojourner atau pendatang sementara. Sojourner tinggal sementara dan
oleh karena itu merupakan penduduk sementara. Seorang sojourner pergi ke
luar negeri secara sukarela selama periode waktu tertentu yang biasanya
berkaitang perjanjian atau kontrak tertentu. Dengan demikian seorang
sukarelawan munkgin melakukan tugas ke luar negeri selama satu atau dua
tahun, seorang pebisnis mungkin menerima untuk ditempatkan selama 3 atau
4 tahun, seorang misioner mungkin lebih lama, sementara anggota militer
seringkali ditempatkan lebih singkat. Seorang mahasiswa internasional
biasanya tetap tinggal selama durasi kesarjanaan mereka.
3. Imigran. Migran mencakup mereka yang secara sukarela berpindah tempat
untuk waktu yang lama. Mereka umumnya 'ditarik' ke sebuah negara baru
oleh kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Mayoritas imigran sangat
termotivasi oleh faktor ekonomi dan biasanya berpindah dari negara yang
lebih miskin ke negara yang lebih kaya. Meskipun demikian, sebagian
kecil imigran memilih pindah karena alasan politis, religius, atau
budaya. Para imigran seperti halnya sojourn merupakan kelompok yang
sangat beragam. Terdapat variasi yang luas dalam hal jarak budaya antara
masyarakat asal dan masyarakat tempat tinggal imigran.
4. Pengungsi. Pengungsi sebagai sebuah kelompok juga memainkan peranan
penting dalam pertumbuhan migrasi internasional secara global. Berbeda
dengan pendatang lintas budaya yang lain, pengungsi umumnya telah
mengalami trauma sebelum migrasi, seperti perang sipil, genosida*,
kelaparan, pemenjaraan, dan penyiksaan. Pemindahan mereka tidak secara
sukarela dan mereka tidak rela dipindahkan dari negara asal mereka dan
'didorong' ke lingkungan yang asing. Mereka umumnya kurang memiliki aset
finansal, juga memiliki sumber daya pendidikan dan bahasa yang terbatas
dalam membantu mereka beradaptasi terhadap lingkungan baru dan berbeda
budaya. Hal ini khususnya tampak pada kasus-kasus di mana pengungsi
berasal dari daerah pedesaan Asia dan Afrika yang direlokasi ke
pusat-pusat kota di negara-negara industri barat.
Lalu, apa yang kemudian terjadi setelah culture shock?
Ward, Bochner, dan Furnham (2005) memaparkan bahwa ketika
kelompok-kelompok yang berbeda budaya saling berhubungan, maka akan ada
pengaruhnya terhadap struktur sosial, perjanjian institusional, proses
politik, dan sistem nilai. Individu-individu yang terlibat dalam
pertemuan budaya tersebut juga terpengaruh. Pada level kelompok,
terdapat empat hasil pertemuan antar budaya, yaitu genosida, asimilasi,
segregasi, dan integrasi.
Genosida
Terdapat banyak contoh di masa kuno maupun dalam sejarah ketika suatu
kelompok biasanya mayoritas atau yang memiliki sumber daya teknologi
superior, telah membunuh atau berusaha membunuh semua anggota kelompok
lain yang melakukan kontak dengan mereka. Contoh genosida bisa kita
lihat pada gerakan Nazi. Pergerakan pengungsi juga seringkali merupakan
hasil dari usaha genosida, dan efek dari trauma sebelum migrasi bersifat
kuat dan berlangsung lama.
Asimilasi
Asimilasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses
'menelan' sebuah budaya oleh budaya lain. Hal tersebut seringkali adalah
pendekatan yang digunakan oleh kekuatan kolonial di mana mereka memaksa
nilai budaya dan etika mereka pada negara-negara yang telah mereka
taklukkan. Secara teknis, asimilasi merujuk pada proses di mana sebuah
kelompok atau sebuah masyarakat secara bertahap mengadopsi, atau dipaksa
mengadopsi kebiasaan-kebiasaan, nilai, gaya hidup, dan bahasa dari
budaya yang lebih dominan.
Segregasi
Segregasi merujuk pada kebijakan perkembangan terpisah. Dorongan untuk
melakukan segregasi dapat datang entah dari mayoritas dominan yang ingin
mengeluarkan kelompok minoritas tertentu dari posisi-posisi, institusi,
dan daerah kekuasaan penting, atau dari kelompok minoritas sendiri yang
secara aktif menuntut negara bagian terpisah, daerah budaya, sekolah
khusus, kepemilikan tanah berdasarkan latar belakang etnis, sanksi
terhadap pernikahan antar budaya, dan lain-lain.
Integrasi
Hubungan lintas budaya hanya dapat diatasi ketika kita secara tegas
mengakui bahwa kelompok-kelompok manusia berbeda dalam identitas budaya
masing-masing, bahwa mereka memiliki hak untuk mempertahankan hal-hal
istimewa jika mereka menginginkannya, dan bahwa prinsip ini berlaku
untuk perbedaan baik dalam maupun antar masyarakat. Integrasi merujuk
pada akomodasi yang terjadi ketika kelompok yang berbeda mempertahankan
identitas budaya inti sementara pada waktu bersamaan juga menyatu dengan
kelompok yang dominan, sama-sama saling menghormati.
Pada level individu, terdapat empat gaya respon terhadap hubungan antar
budaya. (1) Seringkali individu menolak budaya asal dan mengadopsi
budaya baru, khususnya di mana budaya kedua memiliki status lebih
tinggi. Sebuah efek yang kadang-kadang dirujuk sebagai gaya 'mengoper'.
(2) Walaupun jarang terjadi, individu akan menolak pengaruh budaya lain
seperti alien, mundur kembali ke budaya asal dan menjadi nasionalis
militan dan memiliki patriotisme berlebihan. (3) Respon ketiga terjadi
cukup umum, yaitu individu terombang-ambing antara dua budaya, tidak
merasa akrab dengan kedua budaya. sebuah efek yang kita sebut 'sindrom
marginal'. (4) Beberapa orang tampaknya mampu menggabungkan identitas
budaya mereka yang beragam, setara dengan integrasi pada tingkatan
individu, dan memperoleh kepribadian bikultural atau multikultural yang
sejati. Individu seperti itu relatif jarang, dan dirujuk oleh Bochner
sebagai 'orang yang memediasi'.
*) Catatan: Genosida merupakan pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa.
Referensi:
Chapdelaine, R.F., & Alexitch, L.R. (2004). Social skills
difficulty: model of culture shock for international graduate students. Journal of College Student Development, 45(2), 167-184. Melalui Proquest Education Journals database.
Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2005). The psychology of culture shock. Melalui Taylor & Francis e-Library.
Sumber : http://jurnaljane.blogspot.com/2011/12/culture-shock-shock-karena-bertemu.html
Jumat, 08 Juni 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar